Selasa, 13 Oktober 2009

"surat untukmu sahabat"

Ini adalah sepenggal kisah yang ingin kubagikan padamu. Cerita yang “menggangguku” dan aku butuh tempat untuk membaginya. Cerita untukmu sahabatku.
“Aku pergi ya”, kataku meninggalkan teman yang sedang membereskan kamarnya. Beberapa hari ini aku menginap di tempatnya, karena jarak dari kosannya ke tempat penelitianku tidak begitu jauh. Dengan demikian, dapat mengurangi keletihanku selama penelitian(hal itu yang menjadi alasanku sehingga aku memutuskan menginap di Bandung). Baru saja keluar dari kosan, silau matahari pagi langsung menyapaku dan kusambut dengan sedikit keluhan,,”aduh panas sekali hari ini. Akan tetapi, mau tidak mau, suka tidak suka, rela tidak rela aku harus melewati terik yang menggigit itu.
Perjalanan pun dimulai, entah karena aku yang kurang enak badan, atau karena panas matahari yang sengit sehingga menggangu kenormalan tubuhku. Kepalaku mulai menunjukkan gelagat ketidaksukaan terhadap panas hari itu. Pusing, berat dan jadi pangling. Namun, dalam diri kutekadkan, “hati yang gembira adalah obat” sambil berseru kepada diri sendiri dan mempengaruhi pikiran sendiri. Percaya atau tidak, langkah ini mujarab dan berhasil. Rasa pusing itu hilang dan diganti dengan rasa senang.
Pekerjaan pun dimulai
Dia atau tepatnya beliau berusia 71 tahun( dapatkah kau bayangkan bagaimana kondisi tubuhnya). Tua, pendengaran yang mulai berkurang, mata yang terus berair, berjalan dengan terbungkuk. Kulit yang mulai keriput dan tenaga yang mulai melemah. Beliau membuka pintunya dan menyuruhku masuk(saat itu aku melihat ada harapan di balik tatapannya).
Beliau pun mulai bercerita,”setiap hari Bapak bangun subuh neng, narik becak. Kadang sehari cuman dapat Rp 20000 saja. Bapak lebih sering menarik sampai siang aja, soalnya ngga kuat lagi kalau sampai sore. Bapak suka bingung neng, kalau hasil dari naik becak hanya dapat segitu, Cuma bisa beli beras dua kilo, padahal cucu Bapak teh banyak. Mereka sering makan di tempat Bapak.
Aku: anak Bapak pada kemana Pak?
Bapak: Wah, mereka juga susah neng, untuk keperluan sehari-hari mereka saja kayaknya susah jadi ngga mungkin bantu Bapak. Bapak kira teh neng datang mau ngasih sumbangan ke Bapak.
Deg, dalam hati aku berkata : maafkan aku Pak, belum bisa memberikannya
Usia 71 tahun masih membuatnya tampak kuat saat harus mengayuh becak dari pagi sampai sore, sedangkan usia 22 tahun membuatku tampak lemah karena keletihan menjelajahi Bandung Jatinagor sehingga harus menginap di Bandung. Tampak tak adil.
(Pembicaraan itu memenuhi benakku sekeluarnya dari rumah itu dan menuju rumah lainnya)
Mereka menaruh harapan pada kita
Mencari alamat diper kotaan dengan keterangan yang tidak akurat ternyata sulit, sehingga langkah yang kulakukan untuk mengatasinya adalah menghubungi pemerintah setempat( Kepala RT-pen).
Ketika bertemu dengan Bu RT dia pun berkata,”Neng dapat data dari B***(salah satu instansi pemerintah). Mereka mah kalau mendata suka asal neng, data tahun-tahun sebelumnya langsung aja dimasukin sebelum diperiksa lagi, padahal orangnya sudah meninggal juga. Kalau mereka benar-benar melakukan pendataan, pasti bisa kedata orang-orang yang memang layak untuk mendapatkannya(data ini adalah jenis data penerima ‘sesuatu” dari pemerintah). Tolong ya neng, neng dan aa( salah seorang teman yang menemaniku) kan mahasiswi perpanjangan suara masyarakat kepada pemerintah, bilangin biar pemerintah benar-benar memperhatikan orang-orang yang kekurangan. Banyak pisan neng yang kekurangan, tapi kurang diperhatikan
Dan aku diam disana, menatap si ibu dengan senyuman dan anggukan. Senyuman untuk sebuah harapannya yang besar, anggukan untuk menyampaikan??apakah aku akan menyampaikannya kepada pemerintah?Ntahlah, yang pasti anggukan itu adalah persetujuan terhadap pernyataannya bahwa ada banyak orang yang tidak dipedulikan, ada banyak orang yang tidak diperhitungkan, ada banyak orang yang berkekurangan. Ada banyak….banyak teman, …
Aku ingin mengajakmu mengelilingi dan melihat mereka. Ah, tapi tak perlu jauh-jauh ke sini, bukankah di sekitarmu juga banyak. Di jalan raya,di kendaraan umum, di televise di mana-mana kau bisa menemukannya.
Aku teringat dengan keluhanku di pagi hari, aduh panas sekali hari ini. Apakah si bapak tua itu akan mengeluh ketika menarik becak? Mungkin iya untuk sehari, namun tidak untuk hari-hari selanjutnya. Apa yang akan dia makan, apa yang akan diberikan kepada cucunya jika untuk panas matahari saja dia mengeluh? Panas matahari mungkin jadi teman perjalanannya saat mencari penumpang, akan menjadi tempat ceritannya saat tidak bertemu penumpang.Ah, sungguh tidak adil fikirku. Tahukah kau bagaimana caranya agar semuanya tampak adil?
Mereka membutuhkan sumbangan. Sumbangan yang tidak hanya berupa materi. Mereka butuh sumbangan berupa perhatian, rasa sayang, dipedulikan dan diperhatikan. Aku tidak mengajakmu untuk langsung datang dan berbagi kasih sayang dengan mereka, Aku tidak memintamu untuk memberikan semua yang kau punya bagi mereka,bukan,bukan itu. Aku hanya memintamu untuk bersama-sama berfikir bagaimana agar tampak keadilan antara kenyamanan yang kita rasakan dengan keterbatasan yang mereka alami.
Keadilan yang boleh tampak dari pekerjaanmu ketika bekerja untuk pemerintah berharap hati kita bekerja untuk rakyat, sebagai “penyambung suara mereka” Keadilaan yang terlihat dari makanan yang tidak kita sisakan saat sudah merasa kenyang−karena mungkin “mereka” sering tidak kenyang− makan dengan keterbatasan. Keadilan yang nyata saat materi yang kita punya tidak terbuang untuk kesenangn belaka. Keadilan ketika senyum yang menghiasi wajah kita −ketika memperoleh benda yang diinginkan, menang dalam suatu permainan−dan senyum itu juga menghiasi mereka saat menyadari bahwa hari ini dan besok ada sesuap nasi yang bisa mereka santap. Keadilan saat kita tidak mengeluh karena “kepanasan”, karena mereka pun tudak mengeluh untuk “panas” itu…
Ah, sahabat lebih jauh dari itu, apa yang bisa kita lakukan untuk mengurangi ketidakadilan itu??
Setiap aku bercerita padamu,aku tahu kau selalu punya masukan, nah untuk hal ini, adakah yang bisa kita lakukan??