Senin, 24 Mei 2010

Pelajaran lewat Pengalaman bersama Mesin Berjalan

Aktivitas yang mengisi hari-hari saya belakangan ini adalah naik turun angkot. Kemana-mana selalu menggunakan angkot. Walaupun hanya ongkos seribu tetap naik angkot apalagi dua ribu harus naik angkot (karena jaraknya sudah cukup jauh),hehehe. Dulu, waktu masih tiggal di daerah pelosok Bandung , di Jatinangor, jasa angkot tidak terlalu sering saya gunakan. Kaki ini lebih memilih bergerak daripada duduk diam di atas mesin berjalan itu. Alasan lainnya karena jarak tujuan yang harus saya tempuh tidaklah begitu jauh. Hanya dalam hitungan 5-10 menit, maka saya bisa tiba di tempat tujuan. Jasa dan tenaga angkot akan dipilih jika tubuh ini sedang “manja”, dan malas memfungsikan kaki sebagaimana mestinya. Jika sudah pada kondisi ini maka angkot2 akan bersukacita (hooeekkk;p), karena saya menompang sejenak dan dia mengantar saya ke tempat tujuan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya,hahaha. Berhubung sekarang saya tinggal di ibu kota propinsi dan sedihnya tempat tinggal saya cukup berjarak dengan tempat main saya (hahaa, gaya..), maka angkot akan menjadi sarana penghubung dan pengantar saya. Waktu yang saya butuhkan tidaklah menentu. Kemacetan dan ketidakaturan beberapa pengguna jalan raya sering memperlama waktu yang sesungguhnya untuk mencapai tempat tujuan saya. Nah, selama diangkot inilah banyak hal yang saya pelajari. Banyak sisi kehidupan yang saya dapat lewat perjalanan dengan angkot.

Salah satu yang saya dapati adalah berikut ini. Ketika lampu merah, yang merupakan komando bagi si bos angkot untuk menghentikan rekan kerjanya. Pada situasi seperti ini tahukah kalian siapa yang akan menyerbu angkot yang saya tumpangi? seperti semut yang langsung menghampiri gula demikian jugalah para pengamen di sekitar lampu merah memandang manis kepada angkot (haha, penumpang-pen). Entah itu waktu panas atau lagi hujan, jarang mereka melewatkan angkot-angkot yang berhenti. Menyanyikan satu lagu (atau kadang tidak selesai karena sudah keburu lampu hijau), lalu mengedarkan ‘kantong’ sebagai wadah penghargaan terhadap lagu yang mereka dendangkan. Terkadang ada penumpang yang memberi namun sering juga kantong itu tetap kosong kembali ke tangan pemiliknya. Begitulah sering salah satu hal yang saya lihat. Angkot melaju dan para pengamen kembali ke tempat peristirahatannya dan menunggu lampu merah selanjutnya. Terlepas motif si pengamen malas bekerja, atau tidak tau harus kerja apa satu hal yang saya pelajari dari mereka adalah sebuah perjuangan. Saya tidak tahu mungkin mereka mengeluh ketika hari sangat panas atau ketika hujan, namun keluhan itu tak menghambat mereka untuk tetap bekerja. Angkot yang berhenti tidak mereka lewatkan begitu saja. Hal yang saya lihat dari kejadian tersebut adalah sebuah usaha terus menerus dan bekerja keras. Pernah suatu ketika, saya sedikit menyerah dengan tantangan hidup yang sedang mendera saya(jiaahhh,sedih amat bahasannya,hehee). Sedikit memberontak dan kehilangan semangat untuk berusaha. Merasa letih dan ingin lari dari kesulitan hidup tersebut (haahh, semakin lebaii pendeskripsiannya). Ketika diangkot lah saya diingatkan kembali. Ketika melihat para pengamen itulah saya ditegor. Ah, bukankah aku lebih beruntung dari mereka?bukankah hidupku lebih baik dari mereka?namun ternyata mungkin saat itu daya juang yang ku miliki tidak setangguh daya juang mereka;-(. Dan melihat para pengamen tersebut saya rasa Tuhan berbicara dan menguatkan saya. Kalau para pengamen itu dapat terus berjuang, kenapa saya harus menyerah?. Mereka berjuang untuk mendapatkan uang atau berjuang untuk dapat mempertahankan hidup. Saya berjuang untuk sesuatu yang juga tentang sisi kehidupan yang harus saya lewati. Lalu apa bedannya? (membayangkan diri saya, dengan kedua tangan di pinggang dan mata melotot, berkata,’lalu apa bedannya?’. Waduhhh seram amat,,hehhehe.)

Saat itu juga, satu sisi dalam diri saya berkata,’ Para pengamen itu entah mereka sudah letih atau tidak tetap saja menyanyi, lalu kenapa dirimu sudah ingin berhenti saat kau merasa kelelahan?. Tidak tau apakah mereka punya pengharapan atau tidak, namun bukankah dirimu memiliki Sumber Pengharapan dan Kekuatan yang menjadi tempat pengaduanmu?. Jangan pernah menyerah La, karena kau diciptakan bukan untuk menyerah namun terus berjuang. Karena kekuatan tidak akan pernah hilang dari orang-orang yang terus memiliki pengharapan. Dan seketika itu juga huuzzzzzttt..sebongkah kekuatan menyelinap masuk merasuki jiwa saya. Menggerakkan sendi-sendi semangat dalam diri saya untuk kembali melanjutkan perjuangan yang sempat istirahat. Dan sayapun berspekulasi sendiri. Dengan berpijak pada pengertian “tidak ada yang kebetulan”, maka tidak kebetulan juga kalau saya harus sering naik turun angkot menempuh perjalanan menuju tempat tujuan. Lewat keberadaan saya diangkot, saya boleh belajar akan semangat juang dari para pengamen tersebut. Coba kalau saya bisa jalan kaki, mungkin saya tidak akan melihat dan menikmati aksi panggung para pengamen dalam menghibur penompang di angkot, mesin berjalan itu. Hehehe...Dan saya tidak akan kepikiran akan daya juang para pengamen tersebut. ;)

**Masih banyak kisah dan cerita yang saya dapati dan lalu di “mesin berjalan” itu, nantikan penuturan saya selanjutnya..ehheheehee...

**Ada pelajaran yang tersirat dan mungkin tersurat dari setiap hal yang kita lihat, alami, lewati. Hanya dibutuhkan sedikit kepekaan untuk melihatnya lebih seksama dan menemukan makna di balik semuanya....

(Nothing to Loose-nya MLTR menemani saya mengakhiri tulisan ini,hehehe^^)

Senin, 10 Mei 2010

Pertemuan dengan Dokter

Beberapa hari bertahan (dan melawan), akhirnya saya menyerah juga. Tubuh ini ternyata tidak sekuat bayangan saya, eh,eh salah,tubuh saya tidak sekuat yang saya bayangkan. Hum, tubuh si gadis dewasa ini ternyata tidak sekuat tubuhnya tatkala remaja. Ya, akhirnya hari ini saya pergi bertemu dengan dia/mereka yang berbaju putih. Mereka yang sering menjadi tempat cerita orang-orang yang(sedang) segolongan dengan saya. Orang yang sakit fisik( haha,mau bilang ketemu dokter aja ribet amat^^hehe).

Sedari dulu saya paling tidak suka kalau harus mengunjungi mereka. Bukan karena punya pengalaman buruk, atau karena wajah-wajahnya yang menyeramkan (beberapa banyak yang cakep kok;-)hahaayyy ), atau karena takut dengan jarum suntik dan darah (seperti beberapa orang). Alasan yang sebenarnya semata-mata karena saya malas dan beranggapan bahwa saya akan sembuh tanpa bantuan dokter. Dulu kalau saya sakit ringan (batuk,flu,pilek, demam-tinggi-sedang-rendah) saya hanya butuh perawatan penuh kasih dari mama tersayang ditambah tegukan si air putih yang tak terhitung jumlahnya. Dan tak lupa juga istirahat yang banyak. Jika tingkat sakitnya sedikit lebih parah, saya mengalah dan mau bekerjasama dengan pil-pil dan sejenisnya untuk membasmi si biang kerok. Hal ini benar-benar terjadi kalau saya sudah sadar bahwa tubuh saya membutuhkan senjata tambahan berupa sekelompok obat tersebut. Dan, utungnya mamaku bekerja di salah satu pusat pelayanan kesehatan yang mengerti tentang obat-obatan. Dengan demikian obat dari dokter akan sampai ke tangan saya tanpa harus bertemu dengannya.

Kondisi di atas sudah beda dengan sekarang ;-(. Sekarang saya tidak lagi tinggal bersama orang tua. Jauh dari orangtua dan menjadi penghuni salah satu kosan di kota saya menimba ilmu dan mengadu nasib. Jadilah saya harus mandiri dan mengurus diri sendiri. Mau makan cari sendiri, mau nyuci cuci sendiri, sakit-berobat sendiri. ahayyy,kayak lagu dangdut,hehehe. Semua harus saya kerjakan sendiri . Tidak bisa lagi seperti dulu,hanya melalui mama. Mau tidak mau, suka tidak suka, saya harus menghadap si dokter dan bercerita tentang sakit yang saya alami. Pilihan ini harus segera dilaksanakan, kalau mau sembuh secepatnya (*saya berkata demikian kepada diri sendiri untuk melawan rasa malas/enggan berkunjung ke dokter).

Tadi malam sebelum tidur, saya sempat menjelajah dunia perinternetan (*hum bahasa Indonesia browsing apa ya??). Nah, berdasarkan pencarian tersebut, saya jadi dihinggapi rasa takut. Sakit yang saya derita, dinyatakan gejala dari penyakit yang gawat. Sakit parah yang pengobatannya susah. Huaa, sontak saya jadi bingung dan cemas. Waduh,kalau itu benar, berarti saya harus istirahat untuk waktu yang lama, saya tidak bisa main kemana-mana, saya harus pulang sehingga ada yang ngerawat, *duhduhduhduhduh, saya panik parah dengan mimik yang jauh dari wajah sumringah*.

Di tengah-tengah kepanikan tersebut, akhirnya saya menenangkan diri seraya berkata all iz well,all iz well mencontek dari film yang baru (lagi) saya tonton. Tapi kepanikan saya tidak berubah juga. Dan saya tau hal apa yang harus saya lakukan untuk mengalahkan si panik ini. Mengambil waktu sejenak dan berserah pada-Nya. Hal yang membuat saya tenang dan dengan mudah mengantar saya tidur. Meninggalkan kepanikan yang belum tentu kebenarannya itu.

Siang tadi, waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Deg-degan, keringat dingin, takut, gemetaran tidak saya alami,hahhaa. Saya merasa biasa-biasa saja saat akan bertemu dengan si dokter. Selintas terbersit ketakutan saya tadi malam, tapi secepat kilat saya mengibaskannya dari memori.ah,itu hanya pikiran saya saja yang terlalu jauh. Sang dokterpun mulai melakukan tugasnya, cek sana-cek sini, tanya ini-tanya itu, bilang apa-bilang api (lho??)hahha. Dan dengan entengnya dia berkata,” kamu sakit karena kecapean dan cuaca yang tidak baik, batuknya karena kamu suka makan gorengan. Untuk sementara jangan makan gorengan,minum es dan makan mie dulu ya’, tambahnya. Dalam hati saya berkata,”hah!, Cuma sakit seperti itu ternyata!”. Tapi untuk memastikan saya bertanya kepada si dokter,”berarti sakitnya hanya karena itu ya dok?bukan karena sakit yang lain-lain?”Tanya saya dengan penuh rasa ingin tahu. Dan dengan santai si dokter itu mengangguk, mengiyakan pertanyaan pertama saya.Lega.

Diperlajanan pulang dari rumah sakit hal yang terbersit dalam fikiran saya adalah, kenapa saya memperlama waktu berobat? Menyesal karena tidak cepat langsung berobat, pasti sembuhnya pun lebih cepat dibanding dengan sakit yang sudah saya alami berhari-hari. Dan jawabannya adalah karena saya menghindar. Menghindar untuk bertemu dokter. Menghindar dari ketakutakan untuk sesuatu penyakit yang saya bayangkan. Padahal yang terjadi tidaklah serumit yang saya bayangkan. Padalah justru setelah bertemu dokter saya jadi diyakinkan bahwa sakit saya hanya sakit biasa. Bahwa apa yang saya takutkan hanyalah ketakutan yang tidak beralasan.

Pelajaran hari ini: jangan pernah menghindar untuk sesuatu yang harus anda hadapi. Mau tidak mau,suka tidak suka, hal yang membuatmu malas/menghalangi langkah anda haruslah tetap dihadapi. Jadi kenapa harus memilih menghindar? Cepat atau lambat,mana yang anda pilih?mengutip motto seorang politikus”lebih cepat lebih baik” merupakan pilihan yang bijak dalam menghadapi sesuatu hal yang sedang anda hindari.

Salam sehat dan tetap jaga kesehatan^^

Kamis, 06 Mei 2010

Selamat hari lahir-Bagian I


Harusnya si di masukin blog 1 Mei kemarin, tapi baru sempat sekarang..^^hehehe

Menjadi tua itu pasti, namun menjadi dewasa adalah pilihan. Demikian isi layanan pesan singkat seorang teman. Kalimat tersebut menjadi kata-kata mutiara yang berkesan buat saya diusia 23 tahun ini (huaaa, pernyataan pertama semakin disahkan, bahwa saya sudah semakin tua~,~). Berada pada usia ini menandakan perjalanan hidup saya yang hampir mendekati (minus 2 tahun lagi!!) seperampat abad usia. Entah sudah berapa era/masa yang sudah saya lewati. Mulai dari bayi kecil mungil imut lucu nan cantik (hahaha, naluri narsis saya lagi membumi,hehe), kemudian menginjak masa anak-anak, TK, SD. Masa yang dulu membuat saya ingin cepat besar, bisa bebas main kemana saja tanpa harus dilarang orangtua. Masa yang jarang ditemani oleh pikiran-pikiran seperti yang dialami oleh orang dewasa. Masa dimana bebas lepas bermain karet, kelereng atau bola kaki tanpa ada larangan ataupun ketakutan. Masa yang saat ini saya rindukan (tapi sayangnya kantong doraemon tidak bsa dipinjam,;().Tampaknya masa ini adalah masa hidup yang tanpa beban, dapat tertawa lepas. Mau apa-apa tinggal bilang pada orangtua dan kalau tidak diijinkan maka saya akan menangis. Setelah menangis−tetap aja sih ngga dikasih=) hehehe− saya akan pergi main dengan teman dan sudah!!, sudah lupa terhadap hal yang saya tangisi^^. Mulai lagi dengan permintaan-permintaan baru, tanpa ingat lagi kejadian yang sudah berlalu.

Seiring perjalanan waktu (yang tak pernah berhenti) saya pun menapaki masa remaja nan jenaka, penuh canda dan tawa tak ketinggalan juga tingkah-tingkah yang merajalela. Pergi main sesuka hati membuat orangtua gusar, atau menggangu teman hingga membuatnya menangis. Ber-hahaha hihihi dengan teman satu geng (geng???),atau ngomongin kakak kelas cowok yang mengagumkan ketika pidato, atau memimpin baris berbaris. Hum, masa-masa manis saat dulu sudah mulai membicarakan nanti kalau sudah besar dewasa aku mau jadi ini, aku mau kuliah di sana, aku mau cowok yang seperti itu, aku mau ini, mau itu. Suatu harapan untuk beberapa tahun ke depan yang akan dialami. Geli rasanya, saat mengingat semua itu. Gadis remaja yang mengisi hari-harinya belajar, les, membantu orangtua di rumah sudah mulai membayangkan hal-hal tersebut.

Lalu hari berganti, bulan berganti, tahun berganti tanpa disadari usia sudah kepala dua. Istilah teman saya ‘telor sudah pecah’. Dan kalau tidak salah ingat di usia 21−dua tahun silam−berkesan bagi saya. Saya merasa sudah harus menjadi seorang yang dewasa, dewasa menurut pengertian saya sendiri. Ketawa bukan lagi ngakak-ngikik tak jelas, ngomong tidak lagi ceplas-ceplos tak karuan, gaya berpakaian pun berusaha dirubah−dari kaos/t-shirt yang menjadi seragam kebanggaan menjadi baju yang lebih feminim−atau kamar tidak lagi berantakan dll dll, sesuai pengertian dewasa yang saya bayangkan. Padahal sebenarnya hal yang dituntut dari sifat dewasa bukanlah pada apa yang kelihatan sekilas dan kasat mata, namun dewasa karakter/sifat/sikap/perilaku yang menjadi pondasi dalam bertingkah,bertutur, berbuat terhadap sesama. Pondasi dalam menghadapi setiap penggalan perjalan hidup yang akan ditempuh dari waktu ke waktu yang semakin mematangkan si”dewasa’ itu sendiri.

Melihat usia (sekali lagi jika dilihat lewat usia), seyogyanya 23 tahun sudah menobatkan saya menjadi gadis dewasa berharap dari segi karakter pun tidak ketinggalan dari usia itu sendiri. Meski demikian saya sadari pondisi itu belum begitu kokoh. Beberapa hal sering saya jadikan sebagai indikatornya. Mulai dari berperilaku terhadap orang lain masih belum bisa mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri−ada kalanya saya menjadi manusia egois− atau ketika mengerjakan sesuatu terkadang belum melakukan segala sesuatu seperti untuk Allah, tatkala keinginan sendiri muncul, terkadang saya menomorsatukkannya dalam mengambil keputusan.

Membaca setiap pesan singkat yang masuk, medengar setiap ucapan “kata-kata mujarab di peringatan hari lahir”petuah untuk semakin dewasa jarang ketinggalan. Bersama pesan-pesan lainnya−semakin dewasa dalam iman dan karakter –sering tampil. Apa mungkin karena dewasa adalah pilihan sehingga sering dipromosikan (baca: diucapkan), dan berharap si penerima semakin mengenal dan memilihnya??hehhee. Saya berharap di usia yang sudah dewasa ini, “si dewasa” yang sesungguhnya itu berjalan mengiringi saya menapaki kehidupan. Melalui setiap persoalan, masalah, sukacita, kebahagian, perselisihan dan setiap hal yang saya alami dan akan alami menolong saya semakin dewasa. Dan ‘dia’ semakin kokoh dibangun di dalam diri saya untuk semakin tangguh untuk melanjutkan perjalanan hidup menempuh tiap-tiap masa yang juga akan saya lewati nantinya. Sampai akhirnya ketika nanti sudah tua (tua yang menjadi bagian saya beda dengan bagian anda;D), dewasa mendampingi saya.

Selamat berulang tanggal dan bulan lahir sahabatt^^...

*Segaris rentang waktu, telah kau jalani di dalam kehidupan ini

Tiada terukur segala kebaikanNya, sungguh tak terbilang kemurahanNya

Di dalam kasih Tuhan mari kita rayakan..

*diambil dari lirik lagu hip hip hura-Nikita

Sri Mulyani-Srikandi Indonesia

Sri Mulyani akan bekerja di Bank Dunia yang akan dimulai sejak tanggal 1 Juni. Pemberitaan tentang hal ini heboh di media massa, media elektronik dan juga jejaring sosial. Salah satu jejaring sosial menyatakan ‘pindah kerja’ ibu tersebut menjadi topik yang paling banyak dibicarakan. Banyak yang menyatakan rasa kehilangan, sebagian mendukung, sebagian berkata hebat, yang lain menyatakan selamat. Ada yang (merasa) kehilangan, ada pula yang (mungkin) senang akan hal ini. saya tidak ingin membahas “mereka”−orang-orang yang merasa terganggu dengan kinerja, kebijakan, dan sistem kerja Sri Mulyani, −tapi saya ingin mengatakan bahwa saya adalah salah satu dari sekian banyak orang yang merasa kehilangan. Bagi saya Sri Mulyani adalah salah satu wanita hebat Indonesia. Banyak prestasi yang sudah beliau ukir. Sebut saja di tahun 2006 mendapat penghargaan sebagai menteri Keuangan terbaik. Kemudian kiprahnya di dunia Internasional yang merupakan wanita Indonesia pertama yang menjabat sebagai Executive Director Dana moneter Internasional (IMF) dll dll. Dan bukankah karena prestasi sehingga Beliau diminta untuk bekerja di bank Dunia?

Salah seorang teman saya (yang merupakan bawahannya di Depkeu), menyatakan kagum atas kepemipinan beliau. Tegas, cerdas, lugas, Dan saya yang walaupun belum pernah melihat langsung bagaimana beliau memimpin menyatakan setuju dengan pendapat teman saya. Melihat setiap kata-kata yang dikeluarkan saat harus meghadapi wartawan. Tidak banyak bicara namun setiap hal yang Beliau ucapkan tidak sia-sia. Terpancar kecerdasaan dari setiap tutur yang Beliau keluarkan. Tampak tidak ada kebimbangan saat harus mempertanggungjawabkan setiap hal yang Beliau kerjakan.

Sri Mulyani adalah sosok wanita yang multi talenta, berintegritas dan berkepribadian tangguh. Beberapa masalah sudah dialaminya ketika menjadi pejabat di negara ini. Sebut saja kasus Lapindo−ketidaksetujuannya dana APBN digunakan sebagai ganti rugi, karena hal tersebut adalah tanggungjawab ‘pemilik’ penyebab lupur tersebut, kasus dengan beberapa pengusaha batu bara dan kasus-kasus lainnya. Pernah ketika dia dimintai keterangan oleh para (yang katannya) wakil rayat dia menjawab dengan berani dan tidak ada sedikit kecanggunan di sana.

Lalu jika dilihat dari kiprahnya sebagai seorang ibu, menurut hasil wawancara dengan Intisari edisi Sptembet 2009 tetap saja diamengagumkan bagi saya. Menurut pengakuannya, Beliau akan menyediakan waktu kapan saja ketika anak-anak sedang membutuhkannya. Pendidikan menjadi nomor satu tapi bukan berarti pendidikan miliki Indonesia tidak diliriknya. Anak-anaknya dimasukkan ke sekolah-sekolah local bukan internasional. Hal ini bertujuan agar anaknya bergaul dengan orang Indonesia karena mereka adalah orang Indonesia bukan orang kuar negeri (sebelumnya mereka tinggal di Amerika).

Contoh lainnya adalah Beliau mengajarkan anak-anaknya untuk menjadi warga negara yang mencintai negara. Wah, bukankah itu suatu didikan yang menunjukkan rasa hormat terhadap negaranya. Jarang saya temui orangtua yang sejak kecil mengajarkan dan menanamkan rasa cinta yang besar terhadap negaranya. Lalu saya juga pernah melihat acara Dialog beliau di salah satu Tv swasta nasional. Sungguh hal tersebut menambah kekaguman saya pada beliau. Anak-anaknya tumbuh dengan baik (paling tidak itu yang dapat saya tangkap dari kebersamaan di acara tersebut), suaminya mendukung penuh setiap karier dan tindakan beliau. Alhasil sampai saat ini rumah tangganya merupakan tempat yang penuh kenikmatan. Huaa, hebat sekali bukan. Wanita multitasking yang piawai dalam bernyanyi, melukis, menjahit apalagi pengetahuan tentang ekonomi, jangan ditanyakan lagi.

Ah, sedih rasanya ketika melihat wanita hebat ini memberikan ilmunya untuk instasi yang disebut ‘World Bank’ itu. Padahal tenaga, pemikiran, keputusan, kebijakan darinya masih sangat diperlukan negara ini. Beberapa orang berpendapat keputusan beliau untuk bergabung dan meninggalkan ‘pasukannya’ di Indonesia adalah karena beratnya tekanan politik yang dialami. Tekanan dari orang-orang yang mungkin lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada bangsa ini.

Meskipun demikian, di balik rasa sedih tersebut, terselip juga rasa bangga. Beliau diminta langsung oleh Pemimpin World Bank, Robert Zoellick. Robert menyatakan bahwa kinerja Sri Mulyani di sektor ekonomi sangat baik dan berprestasi. Menurutnya, Sry Mulyani mampu membawa Indonesia melewati krisis global yang menghantam hampir seluruh negara di dunia. Kepiawaiannya dalam membuat kebijakan mendatangkan iklim yang positif bagi perekonomian Indonesia maupun global (meski pengaruhnya tidak dalam porsi yang besar). Huh, mengapa orang dari ‘luar sana’ dapat melihat kehebatan beliau sedangkan ‘sesama’ yang katanya berjuang untuk Indonesia tidak membuka matanya lebar-lebar untuk hal ini. Siapa yang salah disini. Orang Indonesia yang buta atau pihak luar yang salah lihat?.

Beberapa dekade sudah banyak hal yang Beliau lakukan. Banyak “kado” yang sudah Beliau hadiahkan untuk bangsa ini secara umum dan untuk bosnya secara khusus. Prestasi-prestasi yang pernah ditorehkannya ketika melayani di negeri ini dapat dilihat di sini. Alasan jelasnya mengapa beliau memilih untuk bergabung dengan Bank Dunia, hanya diketahui oleh beliau. Setiap orang hanya dapat menebak dan menerka-nerka. Berharap ketika sudah bekerja di World Bank sana beliau tetap memberikan sumbangsihnya buat Indonesia. Setiap pemikiran, masukan, dan pengetahuannya pasti masih sangat diperlukan bangsa ini. Bangsa yang masih membutuhkan Sri Mulyani, Sri Mulyani lainnya. Teriring pesan buat beliau (walaupun mungkin tak pernah diketahuinya,hehhe) selamat berjuang Bu!! Selamat menjelajah dan berkiprah di dunia Internasional. Berkarya dan berbuat sebaik-baiknya untuk dunia yang lebih baik.

*sehebat-hebatnya manusia tetaplah dia manusia yang pernah berbuat salah.Bukankah manusia dapat beajar banyak dari kesalahan?Namun terkadang sesama lebih mampu menelanjangi kesalahan orang lain dan menghukumnya daripada menyadari kesalahannya sendiri...*