Jumat, 17 Juni 2011

Ketika muka temu muka

strong bonds, trust and deep friendships require physical interaction
Di tulisan sebelumnya saya menulis tentang fungsi media social. Betul, media social memang bisa menjadi tempat mencurahkan perasaan anda. Seperti kata orang-orang, ketika mampu menceritakan apa yang kita rasakan seperempat dari beban itu serasa berkurang, walaupun kita tidak medapat masukan apa-apa. Bukanlah sebagian besar kita bercerita di media social? Akan tetapi kalau kita bisa dapat tiga perempat atau setengah, bukankah itu lebih baik?:P. Dan menurut saya pertambahan beban yang berkurang ini hanya diperoleh ketika anda bercerita muka temu muka dan berbaagi dengan seseorang yang dipercaya. Percayalah, hal itu jauh lebih membantu.
Akhir-akhir ini media sosial menjadi gaya hidup yang wajib diikuti setiap orang. Secara tidak langsung kita diarahkan untuk memiliki akun, sehingga akhirnya dapat berkomunikasi dengan teman, saudara, keluarga pun pacar Dengannya anda akan mudah berkomunikasi dan terhubungkan dengan banyak orang yang terpisahkan oleh jarak dan waktu dengan anda. Mulai dari Y!M, MSN, FB, twiiter, skype dlsb, semakin memudahkan kita untuk berbagi berita pun cerita.
Saya pribadi bersyukur atas adanya fasilitas-fasilitas tersebut, namun sejujurnya ribuan kali chating tidak dapat mengalahkan satu kali pertemuan yang nyata. Muka temu muka. Chat memang bisa membantu, namun sejauh ini emote tertawa ngakak di Y!M seberapa banyakpun di kirim, tidak dapat mengalahkan rasa lega ketika anda tertawa bersama di tempat yang sama. Ada emosi-emosi yang emote secanggih apapun tidak dapat mewakili apa yang kita rasakan. Dan dengan kehadiran orang terdekat membuat anda jauh lebih lega.
Beberapa minggu belakangan ini saya mengalami masa transisi. Ketika saya tinggal di kosan yang sepi, di kantor yang sebagian waktu dihabiskan untuk bekerja. Kondisi ini membuat saya jadi tidak mudah untuk berbagi sesuatu perasaan yang tidak hanya melulu bercerita tentang pekerjaan, namun menceritakan hal-hal biasa. Tertawa biasa.
Dan hari Sabtu kemarin saya tiba di puncak kegalauan pun ke-labil-an :P,. ya tampak seperti anak-anak rasanya ketika mengingat hari itu . dan saya tau kalau begitu, saya butuh bicara. Saya ingin cerita. Kesibukan bekerja secara tidak langsung menelan kebersamaan bertemu dengan para sahabat. Jaman mahasiswa bukan sesuatu yang sulit bagi saya menemukan tempat untuk bercerita. Ada sahabat-sahabat kuliah, ada saudara PA, ada teman-teman kosan, ada banyak orang yang telinganya pasti tersedia. Namun, begitu hidup di Jakarta, menemukannya tidak semudah kondisi mahasiswa. Banyak hal yang membatasi, jarak satu sama lain, waktu yang terasa sedikit, atau kesibukan yang tidak bisa disesuaikan
Awalnya saya hanya ingin muter2 kota Jakarta di malam hari, atau kalau memungkinkan teriak-teriak tatkala melewati lorong jembatan di Jakarta (hahahah, yayaya ini memang tindakan ugal-ugalan yang tidak jadi saya lakukan :P). Setelah mutar-mutar tidak serta merta membuat saya lega. Sedikit mengurangi iya, namun masih ada sisa yang membebani benak. Akhirnya saya dan seorang Abang memutuskan utuk sekedar duduk-duduk di salah satu tempat di Kemang.
Waktu berjalan dan di isi dengan cerita. Di sela-sela pembicaraan tercipta tawa. Suasana semakin indah ketika ditemani Groove dengan music jazz-nya. ditambah segelas milk shake menghilangkan dahaga. Namun di atas semua, yang utama adalah kehadiran orang yang anda percaya untuk melepas segala rasa. Tanpa berada di cafĂ© yang mewah, tanpa alunan music jazz yang indah, saya yakin cerita dan tawa akan tetaplah ada. Menghapus setiap kegalauan yang sedang melanda. Dan itulah yang utama. Cerita dan tawa tercipta . Ya, sesungguhnya , telinga yang mau mendengarkan, dan mulut yang mau diajak tertawa bersama jauh lebih melegakan daripada sebuah liburan mahal.

.






Akhir kata Terimakasih untuk telinga yang mau mendengar, terimakasih untuk tawa kelakar, terimakasih untuk sebuah rasa yang tak bisa diukir lewat kata pun dibayar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar