Senin, 08 Maret 2010

Nasionalisme : Merongrong Masyarakat Dengan Jiwa Gotong Royong

Setiap bangsa memiliki ciri khas dan keunikan masing-masing. Keunikan ini dapat terlihat dari banyak hal seperti suku, bentuk wilayah, warna kulit masyarakatnya, sifat atau ciri yang dimiliki oleh masyarakat tesebut. Sebut saja orang Jepang terkenal dengan keuletannya dalam bekerja, orang Yahudi terkenal dengan kecerdasan otaknya dll. Ciri khas juga dimiliki oleh bangsa Indonesia. Keberagaman suku dan budaya menjadi sumber keberagaman karakteristik orang Indonesia. Kepribadian terbentuk dari kondisi sukunya. Ada suku yang dikenal dengan kelembutannya, ada yang dikenal dengan sifatnya keras, ada pula yang dikenal dengan kepiawaian dalam berdagang dll.
Namun perbedaan karakteristik pada suku-suku tersebut bukan menandakan tidak ada ciri khas Indonesia secara umum. Satu dari sekian banyak ciri atau sifat orang Indonesia adalah gotong royong. Kata ini sering disebutkan dalam pelajaran kewaganegaraan ketika masih duduk di Sekolah Dasar. Gotong royong adalah suatu kondisi dimana satu sama lain saling membantu agar tercipta kebahagiaan dan kerukunan dalam hidup bermasyarakat. Soekarno pernah mengatakan dengan ciri gotong royong yang melekat dalam diri orang Indonesia maka Indonesia dapat menjadi negara yang kuat dan berprinsip. Gotong royong mengalahkan sifat mementingkan diri sendiri, gotong royong mampu menepis perbedaan dalam masyarakat, gotong royong memudahkan selesainya pekerjaan, gotong royong menjadi langkah maju secara bersama-sama dan bahu membahu mengejar ketertinggalan.
Salah satu budaya gotong royong yang sering dilakukan bangsa Indonesia adalah saat musim panen. Setiap orang secara bergantian membantu panen orang lain. Hari ini menyelesaikan panen si A, besok menyelesaikan panen si B, besoknya lagi bergantian menolong si C begitu seterusnya sampai selesai masa panen. Kebersamaan, persaudaraan, rasa memiliki, kepedulian tercermin dari sikap gotong royong tersebut.
Perkembangan zaman tanpa terasa mengikis karakter bangsa Indonesia dalam bergotong royong. Tradisi gotong royongpun sudah jarang terlihat dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Saya ingat ketika masih kecil dulu, sering ada kegiatan membersihkan desa bersama seluruh warga masyarakat. Namun kebiasaan ini sudah tak terlihat lagi khususnya diperkotaan. Kegiatan membersihkan desa/lingkungan sekitar menjadi pekerjaan buruh yang dibayar. Sifat atau karakter ini sudah bergati wujud menjadi memikirkan diri sendiri. Tetap melakukan gotong royong namun untuk kepentingan diri sendiri.
Pudarnya jiwa Gotong-royong
Gotong-royong untuk kepentingan diri sendiri dapat dilihat dari tindakan para petinggi negeri ini. Di kalangan pejabat sendiri istilah gotong royong sudah menjelma menjadi gotong bohong. Mereka secara bersama-sama melakukan korupsi. Lihat saja seperti kasus BLBI, bersama-sama dari kalangan yang sama mengambil duit rakyat untuk diri sediri. Secara bersamaan mereka tolong menolong untuk membohongi dan menipu negara . Contoh lainnya adalah gotong royong dalam menghabisi nyawa orang lain. Mereka duduk bersama, memikirkan, menemukan cara yang tepat untuk menghabisi nyawa orang lain. Mereka bergotong royong untuk kepentingan masing-masing.
Adalagi semangat gotong royong yang terlihat mulia akan tetapi berbahaya. Gotong royong dijadikan sebagai kain penutup untuk kepentingannya sendiri. Ingat dengan kejadian Situ Gintung? Ketika tragedi itu terjadi, banyak calon pejabat dan pejabat berbondong-bondong datang untuk mengulurkan bantuan. Kita dapat melihat di televisi bagaimana mereka memberikan bantuan dan terjun langsung kelapangan untuk bertemu dengan para korban. Mulia bukan? Tapi tunggu dulu, itu terjadi di masa pemilu. Mereka berbodong-bondong untuk menarik simpati masyarakat. Hal ini bertujuan agar masyarakat memberikan hak pilih umtuk mereka. Kondisi ini menunjukkan harga yang harus dibayar untuk mau bergotong royong. Sekarang coba bandingkan dengan gempa bumi yang baru terjadi sebulan yang lalu. Adakah pejabat yang turun langsung kelapangan dan menolong para korban? Kalaupun ada mungkin hanya pemerintah setempat yang memang memiliki tanggungjawab terhadap para korban tersebut. Gotong royong tidak lagi menjadi tolong menolong untuk kepentinganmu namun sudah berubah menjadi kepentinganku.
Mengapa karakter gotong royong ini bergeser dari jiwa orang Indonesia? Ada beberapa alasan yang bisa saya kemukakan. Pertama, Orang Indonesia kurang mengenal jati diri bangsanya, pelajaran sejarah yang diperoleh di sekolah hanya dimengerti sambil lalu saja. Nenek moyang yang dipelajari senang gotong royong didengar masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Kedua, orangtua kurang mengajarkan gotong royong kepada anak-anaknya. Anak-anak dibiarkan bertumbuh dan dididik mengerjakan pekerjaan secara tersendiri. Hal ini mendidik untuk mandiri baik namun anak-anak jadi kurang peka terhadap kepentingan orang lain. Ketiga, persaingan dan tantangan jaman yang semakin ketat sehingga manusia diajak untuk berfikir menyelamatkan diri sendiri dari pada membantu orang lain untuk maju bersama. Keempat, perkembangan teknologi memudahkan manusia mengerjakan pekerjaannya tanpa harus dibantu oleh orang lain. Kelima, tidak ada lagi contoh yang bisa ditiru untuk semangat gotong royong ini. Para pemimpin yang seharusnya menjadi panutan malah lebih sering menimbulkan ejekan. Mereka sering duduk bersama, namun tidak bekerjasama. Hal yang sering terjadi adalah mengutamakan kepentingan kelompoknya daripada kepentingan bangsanya.
Gotong royong wujud dari nasionalisme
Orang sering mengartikan nasionalisme sebagai wujud cinta terhadap bangsanya. Wujud cinta tanpa tindakan sama saja dengan perkataan tanpa perbuatan yang berarti nol besar. Wujud cinta terhadap bangsa tidak harus dilakukan dengan tindakan yang besar seperti melakukan aksi unjuk rasa dengan alasan untuk menyuarakan suara rakyat. Wujud cinta tidak harus berupa memberikan jiwa raganya untuk bangsa dan negara (kalaupun ada yang melakukannya sungguh suatu bentuk wujud cinta yang mulia). Akan tetapi wujud cinta terhadap bangsa dapat dinyatakan melalui contoh-contoh sederhana. Salah satunya adalah menghidupkan kembali budaya gotong-royong di tengah tengah masyarakat.
Budaya gotong royong dapat diterapkan dalam setiap aspek dan setiap usia, namun mungkin bukan lagi dalam bentuk seperti jaman dahulu. Kebutuhan masa sekarang dengan masa dulu sudah berbeda. Keadaan sekarang dan dahulupun berbeda. Anak-anak yang mampu bersekolah dapat bergotongroyong menolong temannya yang kesulitan mengikuti pelajaran. Mereka dapat belajar bersama sehingga temannya yang kesusahan dapat tertolong. Para pemuda yang duduk sambil tertawa menyantap sepotong roti “Breadtalk” atau segelas “Starbucks” dapat bergotongroyong dengan membeli satu potong dan memberikan kepada anak jalanan. Dengan demikian, hal tersebut sudah menolong anak jalanan terhindar dari rasa lapar untuk hari itu. Pelajar sudah bergotongroyong menolong bangsanya ketika belajar dengan tekun dan menguasai ilmunya. Ibu-ibu atau para wanita yang senang berbelanja, sudah bergotongroyong dengan membelikan sepotong pakaian dari harga termurah dan memberi kepada pengemis yang mungkin tidak berganti baju dalam sebulan. Membayar pajak penghasilan oleh orang yang sudah memiliki pekerjaan tetap adalah salah satu bentuk gotong royong dll dll.
Budaya gotong-royong tidak hanya dapat diterapkan dari satu individu ke individu lainnya, namun dapat juga diterapkan dari satu sektor ke sektor lainnya. Sebagai contoh, sektor pertanian butuh sokongan dari sektor perhubungan, perindustrian dan perdagangan. Misalnya saja, produk pertanian yang akan dipindahkan dari produsen kepada konsumen. Jalan yang baik akan mendukung keberadaan dan keutuhan produk sampai di tempat tujuan dengan kondisi yang bagus. Nilai produk pertanian tersebut akan lebih tinggi ketika mampu diolah lewat industri sehingga memberinya nilai tambah. Harga produk tersebut akan menguntungkan bagi petani dan juga konsumen ketika tataniaganya bejalan dengan baik. Salah satu contoh yang sederhana, suatu bentuk gotong-royong dari sektor-sektor. Apa jadinya jika setiap sektor hanya berusaha sendiri? Maka produk pertanian akan mengalami penurunan, industri akan kekurangan bahan baku sehingga harus mengimpor yang akhirnya merugikan masyarakat sendiri.
Gotong royong akan menolong bangsa, mungkin bukan dalam waktu yang singkat namun mampu memberikan manfaat. Saat “gotong-royong” benar-benar digalakkan maka bukti dari kata-kata Bung karno di atas bisa terlihat. Dengan demikian ciri khas bangsa Indonesia yang bersifat gotong-royong tidak hilang dimakan oleh jaman, namun terlihat dalam menghadapi perkembangan untuk Indonesia yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar